Selasa, Juni 23, 2009

Lights of Life : Menyalakan Mimpi

Beberapa hari yang lalu, saya memutuskan keluar dari pekerjaan yang baru saja seminggu saya dapatkan. Pekerjaannya sebenarnya sangat mudah dan menarik. Jauh lebih ringan dari pekerjaan saya sebelumnya.

CAD Operator. Yes, thats it. Kerjaannya cuma liat perkembangan konstruksi di lapangan, bikin gambar, trus bikin dokumentasi dan laporan. Its so easy for me.

"Saya mundur Pak."

"Kenapa?"

"Hati saya ngga mantap menjalaninya, Pak."
"Apa karena kantornya yang sederhana? Kita kan orang proyek. Ngga mungkin bangun kantor besar di tiap lokasi."

"Ngga Pak, bukan karena itu. Hati saya ngga mantap menjalaninya, Pak."

"Ya dimantapkan dulu lah hatinya. Kenapa sih? Kok secepat itu memutuskan. Kalau masalahnya salary kita bisa bicarakan ulang."
"Masalah salary relatif, Pak. (Saya sempet bimbang ketika si boss nawarin kenaikan gaji)
"Terimakasih Pak, saya sudah bulat untuk mundur."

Done. Seperti itulah. Sebenarnya bukan sebuah keputusan yang mudah untuk diambil, setelah seminggu sebelumnya terombang-ambing perasaan untuk maju atau mundur.


Nyesel ngga nyesel.


Nyesel karena ada perasaan takut telah melewatkan kesempatan.

Nyesel karena siapa tau kesempatan ini baik?
Nyesel karena begitu banyak orang yang butuh kerjaan dan penghasilan.

Nyesel karena kesempatan yang saya dapatkan hanya dilewatkan begitu saja.

Nyesel karena kesempatan saya lebih terbuka di luar jawa.

Nyesel karena tahun ini tiket ke luar jawa sudah saya bakar.


Ngga nyesel karena saya sudah pernah jadi pengangguran, pernah punya taman bacaan, pernah bikin dan jualan kerajinan, pernah jadi penjahit dan tukang batik, bahkan pernah jadi tukang warung angkringan!

Ngga nyesel karena saya sudah pernah jadi tukang bikin maket, jadi drafter bayaran per lembar, pernah jadi arsitek freelance, pernah jadi arsitek junior, pernah jadi arsitek lapangan, bahkan pernah jadi manajer proyek!

Ngga nyesel karena buat penggangguran maupun manajer proyek, uang dan materi ternyata bukan suatu ukuran kesuksesan, apalagi kebahagiaan!
Ngga nyesel karena tahun ini saya merasa bahagia bisa dekat dengan istri tercinta.
Ngga nyesel karena tahun ini kalau Tuhan mengijinkan kami bisa punya anak.. tetep :)

Ngga nyesel karena pasti akan datang kesempatan-kesempatan yang lebih baik bagi saya.


Dan mengenai Si Boss nih.. Screw You Boss!

Maaf boss, lo emang bisa bayar orang buat kerja, tapi bukan berarti lo bisa maki2 karyawan dengan kosakata kebun binatang kayak gitu, apalagi orang2 lama lo, kasian tau!
Maaf boss, ngga usah ngakalin deh, apalagi sampe tega ninggalin anak buah di hutan tiga hari tanpa bawa baju ganti. Buset.. lo emang raja tega. Harusnya lo tau kalau loyalitas kami tumbuh sejalan kebijaksanaan lo boss!
Maaf boss, jangan salahkan yang lain kalau elo sering ditinggalin orang.

Wah jadi ngelantur saya.. si boss aja masih tenang2 di kursi empuknya..

Pokoknya makasih sudah memberi saya kesempatan, boss..

Tapi sorry, u r not my type!


Hmm well... puas deh rasanya..

Kini saatnya saya bersyukur atas hidup dan nafas saya yang masih berhembus sampai saat ini.

Hanya selantun doa yang saya panjatkan :

Tuhan, jadikanlah aku jalan kesuksesan dan kebahagiaan bagi orang tercinta dan sesama.


Ada puisi karya Robert Forst (1916) yang ingin saya bagi di sini. Karena puisi ini konon menjadi salah satu favoritnya Robert T. Kiyosaki, dan sekarang puisi ini begitu menginspirasi saya, mudah-mudahan juga bagi sahabat semua..


The Road Not Taken
(Jalan Yang Tidak Kutempuh)

Dua jalan bercabang dalam remang kehidupan

Dan sayang aku tidak bisa menempuh keduanya

Dan sebagai pengembara, aku berdiri lama

Dan memandang ke satu jalan sejauh aku bisa

Ke mana kelokannya mengarah di balik semak belukar


Kemudian aku memandang yang satunya, sama bagusnya,

Dan mungkin malah lebih bagus,

Karena jalan itu segar dan mengundang

Meskipun tapak yang telah melewatinya

Juga telah merundukkan rerumputannya,


Dan pagi itu keduanya sama-sama membentang

Dibawah hamparan dedaunan rontok yang belum terusik.

Oh, kusimpan jalan pertama untuk kali lain!

Meski aku tahu semua jalan berkaitan,

Aku ragu akan pernah kembali.


Aku akan menuturkannya sambil mendesah

Suatu saat berabad-abad mendatang;
Dua jalan bercabang di hutan, dan aku-
Aku menempuh jalan yang jarang dilalui,
Dan itu mengubah segalanya.


Robert Frost (1916)

Sumber : Rich Dad Poor Dad, Hal 7-8,
Robert T. Kiyosaki, 2002.

5 komentar:

  1. hemm.....tulisan yg menginspirasi sob,kamu bnr..uang bukan segalanya.
    membaca kisah kehidupan km yg terpapar sedikit disisi...luar biasa ! jadi malu..alangkah manjanya aku...

    Aku yakin,manusia sepertimu tidak akan kalah...tetep semangat sob,seperti suport yg km beri saat aku sedih lalu...

    BalasHapus
  2. Emang susah ya pak kalau menjalani sesuatu tidak dengan hati yang mantap... salut dengan keputusannya... dan aku yakin pasti ini yang terbaik... salam terkasih dari seorang sahabat...

    BalasHapus
  3. Selalu ada berkat diberikan bagi orang yang berusaha untuk lebih baik.. Semangat Sir!!

    BalasHapus
  4. Astaga ... itu puisi kesukaanku! Waktu dosen membahasnya dulu, aku langsung jatuh cinta dan penasaran ... seperti apa sebenarnya kisah di baliknya.
    Aku setuju ... bekerja sesuai kemantapan hati. Uang bukan segalanya ... walau bagi sebagian orang mungkin uang adalah ukuran kesuksesan.

    BalasHapus
  5. ku dukung selalu keputusanmu,sob.
    uang...gak munafik..butuh banget...
    tapi ada yang lebih penting dari semua itu,yap..kebahagiaan dan harga diri...Semoga untuk mendapatkan momongan lancar dan yakin rejeki pasti akan datang sesuai dengan keinginan hati. Doaku untuk kebahagiaan istri dan keluargamu...

    BalasHapus

Makasih dah komen sob,.. I Love you Full !